Pengertian Lumpen Dan Penjelasannya
Pengetahuan
Elcoida.com - Secara bahasa, lumpen dapat diartikan sebagai ‘orang yang berpakaian rombeng, orang jelata dan bawahan’.
Sementara itu, Karl Marx menajamkan pengertian lumpenproletariat sebagai “the dangerous class, the social scum that passively rotting mass thrown off by the lowest layers of the old society”, yakni suatu kelas yang berbahaya, sampah masyarakat, yang tersingkirkan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.
Lumpen sendiri berasal dari bahasa Jerman yang artinya ‘kain atau pakaian yang sudah menjadi lusuh’. Dapat juga secara kasar diartikan sebagai orang miskin (di kota maupun desa), gerombolan perusuh dan orang-orang buangan masyarakat industri. Mereka adalah kaum yang tidak masuk kategori proletar dan borjuis.
Keberadaannya dapat digunakan oleh politisi reaksioner maupun gerakan revolusioner, oleh karena itu posisinya dalam masyarakat tidak kuat. Mereka tidak mempunyai pekerjaan yang jelas, keinginan untuk memperoleh pekerjaan dan hidup sebagai parasit sosial. Termasuk di dalamnya pencuri, pelacur, bandit, penjahat, penipu, gelandangan, pengangguran (dan calon pengangguran), orang yang dibuang dari industri, dan semua yang tidak masuk klas (declassed or non-class) dan taraf manapun.
Kaum ini dipandang sebagai cadangan industri oleh para kapitalis. Setiap saat mereka bisa difungsikan untuk menurunkan posisi tawar buruh terhadap majikannya.
Dalam A Critique of The German Ideology, Marx menyebutkan bahwa lumpenproletariat tidak memiliki kekuasaan dan tidak terorganisasi. Termasuk di antaranya gelandangan dan pengemis. Bahkan Marx menyebutkan kedua golongan ini secara jelas dalam beberapa tulisannya. Dari definisi yang diberikan pemerintahpun kita tahu bahwa gelandangan tidak bekerja dan oleh karena itu dapat digolongkan ke dalam lumpenproletariat. Sementara pengemis dapat dimasukkan ke dalam lumpenproletariat karena mereka dianggap sebagai klas terbuang yang hanya menjadi golongan yang tersingkirkan.
Dari segi definisi dan sejarah, gelandangan sejak dahulu memiliki potensi revolusioner seperti yang diaplikasikan kaum Marxis.
Peneliti-peneliti masyarakat zaman tradisional mengatakan di zaman kerajaan Indonesia, rakyat memberikan dukungan mereka pada raja dengan kaki. Artinya kalau tidak senang dengan pemerintahan raja, maka salah satu cara oposisi yang paling mudah adalah dengan melarikan diri dari lingkungan kekuasaannya.
Pengemis pun memiliki potensi revolusioner pasif karena di dalam diri mereka terkandung kecemburuan sosial terhadap kaum berpunya. Jika kecemburuan ini menuju pada kesadaran klas, maka gelandangan dan pengemis membentuk kelompok sosial baru dan dengan begitu dapat menjadi basis persediaan massa untuk mewujudkan revolusi sosialis.
Meskipun begitu, lumpenproletariat dengan ketidakberdayaannya (powerlessnes) tetaplah menjadi modal politis/properti bagi kaum borjuis. Meskipun ada di antara mereka yang mengangkat pemimpin dari golongan mereka untuk menjadi penguasa klas tersebut. Namun, hal ini tidak lantas menafikan penggolongan gelandangan dan pengemis sebagai kaum lumpenproletariat. Posisi mereka sangat dilematis: di satu sisi menginginkan kesetaraan dan perubahan nasib, di sisi lain mereka tidak memiliki pekerjaan yang membuat posisi tawar mereka semakin tinggi. Gelandangan dan pengemis tetaplah lumpen yang tersisihkan dari sistem klas sosial yang dibuat Marx.
Di jalanan pisau adalah kawan
Dan aku tahu benar cara bertahan
Tak usah kau mencemooh melempar cacian
Bukan kau yang memberi aku makan
Aku lahir di tangan bidan
dan ditinggalkan di sudut jalanan
kala sinar matahari belum kelihatan
Tak sekalipun aku minta dilahirkan
Ibu bapak siapa aku tak tahu
Yang kukenal hanya kawan-kawan gelandangan
Ya, mereka yang tinggal di kolong jembatan itu kawanku
Mereka yang mengais-ngais tong sampah kalian
Yang selalu diusir seperti anjing dan dihalau seperti debu
Kepada kami, kalian selalu memicingkan mata seperti memandang kecoa
Dunia kami memang kotor benar dari kaca jendela mobil mewahmu
Tinggal bayar tukang pukul maka kami ‘bersih’ dari lingkungan kalian
Tinggal pasang papan “Pengemis, pemulung, dan gelandangan dilarang masuk!”
ditambah satpam dan anjing penjaga maka sucilah lingkungan perumahan kalian
Prasangka masyarakatmu selalu untuk kami seakan kejahatan memang sah milik kami
Disini kami ditolak, disana kami ditolak
Disini kami diusir, disana kami diusir
Lalu kami disuruh tinggal dimana?
Sementara kalian punya dunia ini sebagai surga
Maka kami harus menerimanya sebagai neraka?
Kami kenal betul kerasnya aspal jalanan
Kami biasa dipukuli dan ditendang sana-sini
Kami tak akan jatuh dan mati hanya karena ini
Mungkin justru kalian yang besok mati di pisau kami
_____________________
Hidup menjadi semakin tak masuk akal. Sejak setiap inci langkah kaki adalah arah menuju kios-kios ritel pabrik, sejak setiap patriot industri mengendus hidupmu hingga ke meja makan, sejak televisi hanya berbicara tentang bagaimana hidup harus dijalani, sejak pemerintah berbicara tentang keadilan sosial dan kemakmuran nasional dalam bual bebal.
Setiap kali melangkah meninggalkan rumah, yang tersisa hanyalah kewajiban-kewajiban yang kian hari kehilangan maknanya. Semangatnya kabur bersama libido konsumsi yang meraksasa. Di setiap tikungan, minimarket-minimarket bersolek melebihi pelacur. Belum lagi, sehabis itu semua, tibalah ujung jalan bercerita mengenai supermarket yang payah berbenah diri agar tak terganjal lajunya. Hidup kini hanya tinggal menunggu seseorang datang membawakan label harga berupa chip yang siap dipasangkan pada tengkuk, setelah itu, tinggalah para korporat memilih mana yang akan dipergunakan.
Dan media hanya bisa batuk setiap saat. Berbohong mengenai anarki dan homogenitas. Televisi, sejak perkembangannya merupakan senjata terampuh bagi setiap penguasanya. Dengan dipegangnya industri ini, berarti hampir setengah dari hidup orang yang menyaksikannya menjadi dapat diatur. Ke kiri atau ke kanan. Produk melaju pada durasi yang menjijikkan dengan janji-janji absurd dan tipu yang manis untuk dikecap.
Sebetulnya, tak seorang pun yang tertarik dengan pembahasan tentang pemerintah. Tentang mereka yang mendandani dirinya secantik malaikat dan berperangai lucu seperti bayi. Para pemain akrobat ini berkubang pada dasar lumpur yang mereka sukai. Tak ada yang menyukai mereka selain golongan mereka sendiri. Dan tentara adalah penjaga yang hanya mengerti satu isyarat. Angguk.
__________________________
Daftar Pustaka
Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial. (1984). Jakarta: Penerbit LP3ES.
Marx, K. (1932). A Critique of The German Ideology. Progress Publishers.
Marx, K., & Engels, F. (1959). Manifesto of The Communist Party. Moskow: Balai Penerbitan Bahasa Asing.
Suparlan, D. P. (1984). Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.
[1] Stirner dalam Lumpenproletariat, http://www.marxists.org/glossary/terms/l/u.htm
[2] Karl Marx dan Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party, Moskow: Balai Penerbitan Bahasa Asing, 1959.
[3] Lihat PP nomor 31 tahun 1980. Elizabethan Poor Law tahun 1601 yang menjadi cikal bakal undang-undang kesejahteraan sosial pun tidak memberi ruang bagi kedua golongan ini.
[4] Seperti Mao Zedong yang memobilisir kaum petani dan gelandangan dalam revolusi di Cina. Marx sendiri tidak menyetujui turut sertanya kaum lumpenproletariat dalam revolusi.
[5] Onghokham dalam Gelandangan Sepanjang Zaman, Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1984. Pada zaman dahulu, definisi gelandangan masih netral, yakni diartikan sebagaimana pengembara/pengelana.
Editor: Rahmad Widodo
Komentar
Posting Komentar